PPSC Bandung

Pergerakan Perempuan Sharing Centre

Senin, 21 Maret 2011

Sejarah Pergerakan Perempuan


I
Sejarah Pergerakan Perempuan Pra Kemerdekaan Indonesia
Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak diragukan lagi. Meskipun banyak juga sejarah pergerakan perempuan yang disembunyikan, karena dianggap akan mengganggu kestabilan budaya patriarki yang terbangun pada masa orde baru.

Gerakan kebangkitan nasional berhubungan dengan politik etis Hindia-Belanda yang memberi kesempatan bagi para bumiputera untuk bersekolah. Sebenarnya maksud pemerintah Hindia Belanda adalah untuk menghasilkan buruh-buruh terdidik, guru-guru, birokrat rendahan yang cukup terdidik, dokter-dokter yang mampu menangani penyakit menular pada bangsa pribumi. Tindakan ini dilakukan karena Hindia Belanda harus menekan biaya operasional tanah jajahan (Indonesia) yang terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor dari Belanda.

Meskipun yang diizinkan memasuki sekolah Belanda saat itu hanyalah kaum bangsawan, priyayi, dan kaum elite, ternyata para pemuda bumiputera kemudian berbondong-bondong memasuki Sekolah Rakyat, HIS, MULO dan HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA), dan sekolah guru (Kweekschool). Dengan bersekolah mereka mampu membaca buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris. Buku-buku ini membuka mata dan hati pelajar dan mahasiswa tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh negeri di bumi ini. Dibukanya sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat, telah menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan Barat yang kelak menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional.

Pencerahan dalam dunia pendidikan tersebut menggugat orang-orang muda untuk berkumpul, berbicara, berdiskusi dan menentukan. Tahun 1908 lahirlah organisasi yang dinamakan Budi Utomo. Sebelum Budi Utomo berdiri, telah lahir seorang pejuang perempuan, yaitu R.A. Kartini (1879-1904). Beliau adalah pelopor dan pendahulu perjuangan untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Kartini selama ini kita kenal sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan, terutama di bidang pendidikan. Kartinilah yang membangun pola pikir kemajuan, dengan cara menggugah kesadaran orang-orang sejamannya, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Tidak hanya di Sekolah Rendah, melainkan harus dapat meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan saudara-saudaranya yang laki-laki.

Bagi Kartini, perempuan harus terpelajar sehingga dapat bekerja sendiri, mencari nafkah sendiri, mengembangkan seluruh kemampuan dirinya, dan tidak tergantung pada siapa pun, termasuk suaminya. Mengingat suasana pada waktu itu, ketika adat feodal masih sangat kental di sekeliling R.A. Kartini, maka dapat kita bayangkan, betapa maju dan progresifnya pikiran R.A. Kartini tersebut. Selain itu, meskipun dalam situasi pingitan, terisolasi, dan merasa sunyi, Kartini mampu membangun satu gagasan politik yang progresif pada jaman itu, baik untuk kepentingan kaum perempuan maupun bagi para kawula miskin di tanah jajahan.

Namun sayang, selama ini ada bias gender dalam penulisan sejarah tentang perjuangan R.A. Kartini. Sebagai sosok perempuan cerdas dengan cara pandang yang sangat hebat pada saat itu, penulisan sejarah tentang beliau lebih banyak menonjolkan sisi keperempuanan R.A. Kartini dibandingkan dengan sisi intelektualnya. Penggambaran tokoh perempuan sedemikian rupa sehingga tidak dapat dilepaskan dari konstruksi sosial yang berlaku di masyarakat, yaitu menempatkan perempuan dalam konteks keterbatasan yang dianggap telah sesuai dengan "kodratnya" sebagai seorang perempuan, beliau bukan dianggap sebagai salah satu perintis nasionalisme etnis di Nusantara (Jawa), yang berdampak pada era pra-kemerdekaan Indonesia (lihat: Arbaningsih, 2005: 6).

Gagasan-gagasan brilian dari Kartini tersebut kemudian diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Raden Dewi Sartika yang mendirikan Sekolah Keutamaan Isteri di Bandung dan Rohanna Kudus yang mendirikan perusahaan penerbitan koran Soenting Malajoe. Namun Kartini sendiri tetap sebagai Sang Pemula. Beliau adalah simbol gerakan perempuan Indonesia yang mengawali seluruh tradisi dan intelektual gerakan perempuan Indonesia, berikut gagasan paling awal dalam melihat ketertindasan rakyat di bawah feodalisme dan kapitalisme. Mungkin saja bahwa gagasan dari R.A. Kartini ini turut menginspirasi Dr. Soetomo untuk membentuk pergerakan kebangsaan yang berbentuk Kebangkitan Nasional.

Namun, jauh sebelum sejumlah priyayi terdidik Jawa mengumumkan berdirinya Budi Utomo, perjuangan melawan Belanda telah dimulai di mana-mana. Perjuangan saat itu bukan untuk pembebasan Indonesia, karena gagasan pembebasan Indonesia belum lahir sebagai sebuah realitas, tetapi masih untuk pembebasan tanah leluhur, gunung-gunung, bukit, sungai, pulau dan rakyatnya. Di akhir abad ke-19, perempuan-perempuan muda mulai terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Meskipun awalnya hanya sebatas membantu suami atau saudara laki-lakinya, tetapi kemudian para perempuan ini sungguh-sungguh menjadi pemimpin pasukannya. Cut Nyak Dhien dan Cut Nyak Meutia bersama Teuku Umar, Martha Christina Tiahahu bersama Kapitan Pattimura, Emmy Saelan mendampingi Walter Monginsidi, serta Roro Gusik bersama Suropati. Pada era selanjutnya, muncul Maria Walanda Maramis dan Nyi Ageng Serang. Pada perjuangan mereka saat itu adalah untuk memajukan kaum perempuan sehingga terdidik dan terpelajar, sehingga mampu mandiri.

Setelah kebangkitan nasional, perjuangan perempuan semakin terorganisir. Seiring dengan terbentuknya berbagai organisasi nasional atau pun partai politik, maka pergerakan perempuan pun mulai terbentuk, baik sebagai sayap atau bagian dari organisasi perempuan yang sudah ada, atau pun membentuk wadah organisasi perempuan tersendiri yang dilaksanakan oleh perjuangan perempuan di satu sektor atau tingkat tertentu. Di sisi lain, perkembangan gerakan berbasiskan agama, seperti Muhammadiyah, turut pula membentuk polarisasi dalam gerakan perempuan, yaitu Aisyiah. Berbagai karya jurnalisme pun bertebaran, bukan hanya dalam Bahasa Belanda, melainkan terutama dalam bahasa Melayu. Sejalan dengan itu, kiprah sejumlah sastrawati mulai muncul ke permukaan. Gairah nasionalisme tengah mencari jalan untuk memodernisasikan dirinya.

Gerakan perempuan pun terus berkembang dan menyesuaikan dinamikanya dengan perkembangan perjuangan kebangkitan bangsa. Nasionalisme menjadi gagasan yang diterima di seluruh kekuatan politik yang ada, sehingga konsepsi persatuan menjadi lebih mudah untuk diwujudkan. Karena itu, setelah Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama kali diadakan di Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 1928 yang dihadiri oleh hampir 30 organisasi perempuan. Kongres ini merupakan fondasi pertama gerakan perempuan, dan sebagai upaya konsolidasi dari berbagai organisasi perempuan yang ada. Kongres Pertama ini menghasilkan federasi oganisasi perempuan yang bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI). Setahun kemudian PPI diubah menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Isteri Indonesia). PPII sangat giat di bidang pendidikan dan usaha penghapusan perdagangan perempuan. Pada tahun 1932, dalam kongresnya, PPII mengangkat isu perjuangan melawan perdagangan perempuan dan salah satu keputusan penting yang diambil adalah mendirikan Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak (P4A).

Setelah Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama, organisasi perempuan semakin berkembang, yang ditandai dengan makin banyaknya jenis gerakan perempuan dan semakin terbuka wawasannya. Pada periode sebelumnya, lingkup kegiatan hampir semua organisasi perempuan hanya meliputi masalah emansipasi dan usaha menjadikan perempuan lebih sempurna dalam menjalankan peran tradisionalnya sebagai perempuan. Pada periode ini mulai muncul organisasi-organisasi yang membuka wawasan perempuan melampaui lingkup rumah tangga dan keluarga. Organisasi-organisasi baru ini menjadikan masalah-masalah politik dan agama sebagai pokok perhatiannya. Padahal sebelumnya semua organisasi yang bergabung dalam PPPI (Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia) menolak mencampuri urusan politik dan agama.

Organisasi "Isteri Sedar" yang didirikan di Bandung pada tahun 1930, selain berjuang untuk kemerdekaan Indonesia juga memperjuangkan penghargaan dan kedudukan perempuan dan laki-laki agar sama dan sejajar. Organisasi ini juga bersikap kritis terhadap norma-norma adat, tradisi dan agama yang pada prakteknya merugikan kaum perempuan. Isteri Sedar bersikap anti dan selalu dengan pedas menyerang imperialisme dan kolonialisme.

Pada bulan Juni 1932 beberapa organisasi yang tidak beazaskan agama bergabung menjadi satu dengan nama "Isteri Indonesia" yang memperjuangkan Indonesia merdeka dengan dasar demokrasi. Organisasi baru ini giat berusaha agar perempuan bisa duduk dalam dewan-dewan kota. Selain itu juga memperhatikan masalah perkawinan dan perceraian yang pada waktu itu pengaturannya banyak merugikan kaum perempuan.

Pada kongresnya yang kedua, ketiga dan keempat (1935, 1938, dan 1941), PPPI membicarakan berbagai isu sekitar kewajiban kebangsaan (walaupun tetap dengan tekanan pada kewajiban menjadi Ibu Bangsa), masalah hak memilih dalam badan-badan perwakilan dan dewan kota, serta beberapa masalah politik lainnya.

Selain organisasi-organisasi tersebut di atas, mulai muncul juga organisasi yang anggotanya terdiri dari para perempuan yang bekerja di luar rumah. Demikianlah pada tahun 1940 untuk pertama kalinya dibentuk di Jakarta, sebuah perkumpulan yang bernama Perkumpulan Pekerja Perempuan Indonesia, yang beranggotakan para perempuan yang bekerja di kantor, baik pemerintah ataupun swasta, sebagai guru, perawat, pegawai kantor, dan sebagainya. Namun, dilihat dari kegiatannya, organisasi organisasi tersebut belum dapat dikatakan sebagai organisasi profesi, karena pada umumnya kegiatan mereka ditekankan pada pendidikan keterampilan keperempuanan dan pemupukan kesadaran kebangsaan, sehingga tidak berbeda jauh dengan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi perempuan lainnya.

Pada jaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942-1945), penjajah Jepang melarang semua bentuk organisasi, termasuk organisasi perempuan dan membubarkannya. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru dengan dalih sebagai propaganda untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa Asia Timur Raya. Untuk organisasi perempuan yang dibentuk oleh para isteri pegawai di daerah-daerah, dan diketuai oleh isteri masing-masing kepala daerah, dan disebut Fujinkai. Kegiatan Fujinkai dibatasi hanya pada urusan-urusan keperempuanan dan peningkatan keterampilan domestik, selain kegiatan menghibur tentara yang sakit dan kursus buta huruf. Bagi para perempuan yang mempunyai wawasan luas, pembatasan ini merisaukan dan mereka tidak ikut masuk Fujinkai. Kenyataan ini menjadikan adanya dua jenis orientasi di kalangan aktivis perempuan, yaitu mereka yang berkooperasi dengan pemerintah bala tentara Dai Nippon dan yang non-kooperatif atau memilih bergerak diam-diam di bawah tanah.

Tirani Langit

Kebangunan Perempuan Indonesia Untuk Kebangunan Bangsa Indonesia


Diantara kegelisahanku yang begitu merobek nurani, apa yang harus aku berikan terhadap realita yang membentang disepanjang jalan pergulatan hidup perempuan yang diperkosa jiwa bahkan raganya?....
            Melihat dan memasuki realita persoalan perempuan yang sesungguhnya begitu kompleks, seringkali dinilai dan disimpulkan terlalu sempit apabila hari ini coba dibakukan dengan persepsi gender. Memang itu juga tidak saya katakan salah sepenuhnya, hanya saja persepsi gender hari ini terkesan mendikotomikan. Maka dari itu saya lebih suka mengupas tentang bagaimana kebangunan perempuan hari ini dalam berbagai sektor kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terlalu panjang apabila kita terus memperdebatkan kesetaraan gender, sudah saatnya hari ini kita bergerak untuk kebangunan perempuan Indonesia. Kalau pun nantinya kita akan juga membedah persoalan perempuan yang terjadi secara kasuistik, tapi pada intinya tetap pada apa yang saya ungkapkan diatas yaitu tentang pergerakan perempuan untuk kebangunan perempuan Indonesia.
Saya mengutip ucapan Soekarno yang perlu menjadi perenungan kaum perempuan Indonesai saat ini adalah : ” Perempuan Indonesia, kewajibanmu telah terang! Sekarang ikutlah serta mutlak dalam usaha menyelamatkan Republik, dan nanti jika Republik telah selamat, ikutlah serta mutlak dalam usaha menyusun Negara Nasional. Jangan ketinggalan didalam revolusi Nasional ini dari awal sampai akhirnya, dan jangan ketinggalan pula nanti didalam usaha menyusun masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial. Didalam masyarakat keadilan sosial dan kesejahteraan sosial itulah engkau nanti menjadi perempuan yang bahagia, perempuan yang merdeka.”
Dari kutipan diatas jelas bahwa hari ini seharusnya kita sudah mampu memecahkan persoalan – persoalan perempuan itu sendiri, karena seharusnya hari ini kita sudah melangkah lebih jauh dengan ikut serta dalam membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perempuan – perempuan harus sudah muncul dengan ide dan gagasannya yang akan menjadi salah satu penentu kebangunan bangsa ini. Meskipun realita hari ini jauh dari apa yang dicita – citakan oleh founding father kita itu, bagaimana hari ini begitu pelik kita dengan disuguhi berbagai kasus perempuan yang pada akhirnya berada pada fase kemunduran perempuan. Dari sinilah saya mendapatkan spirit untuk terus membedah, mengkaji, dan memcoba menelurkan gagasan untuk kebangunan perempuan Indonesa. Karena kebangunan perempuan Indonesia adalah untuk kebangunan bangsa Indonesia.
Dalam buku Sarinah yang dituliskan oleh Soekarno, saya mendapat point yang sangat membangun. Yakni ada tiga tingkatan perempuan yang disebutkan disana:
Tingkat pertama, Pergerakan menyempurnakan “keperempuanan”, yang lapangan-usahanya ialah memasak, menjahit, berhias, bergaul, memelihara anak, dan sebagainya.
Tingkat kedua, Pergerakan Feminisme, yang wujudnya ialah memperjuangkan persamaan hak dengan kaum laki-laki. Programnya yang terpenting ialah hak untuk melakukan pekerjaan dan hak pemilihan. Seorang feminis Belanda yang bernama Betsy Bakker mengatakan bahwa Pergerakan perempuan itu paling tepat dapat digambarkan sebagai satu desakan perempuan untuk dipandang dan diperlakukan sebagai manusia penuh. Tujuan yang terakhir ialah persamaan-samasekali antara kedua sekse itu, diatas lapangan hukum-hukum negara dan adat istiadat. Pergerakan feminis ini sering disebut sebagai pergerakan “emansipasi perempuan” dan aksinya bersifat menentang kepada kaum laki-laki.
Tingkat ketiga, Pergerakan Sosialisme, dalam mana perempuan dan laki-laki bersama-sama berjuang bahu membahu, untuk mendatangkan masyarakat sosialistis, dalam mana perempuan dan laki-laki sama-sama sejahtera, sama-sama merdeka. Pergerakan sosialisme ini merupakan cita-cita Soekarno baik dalam memandang pergerakan perempuan pada khususnya dan negara pada umumnya. Dan menurutnya hanya pada masyarakat sosialislah perempuan dapat menjadi perempuan yang merdeka.
Secara garis besar Soekarno dalam bukunya ini ia mengemukakan ide pokoknya tentang tahapan perkembangan suatu bangsa yang dilihat dari pergerakan masyarakat atau ideologi. Ketiga tahapan ini beliau hubungkan dengan pergerakan perempuan. Yang hasilnya adalah tiga tingkatan yang diuraikan diatas. Dari tiga tingkatan diatas, sudah tentu tingkatan ketigalah yang seharusnya dilakukan oleh perempuan indonesia di masa kebangunan ini. Sehingga apa yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia dapat terwujud. Karena ada hal yang harus diingat bahwa perempuan adalah pelahir generasi. Kenapa ada pernyataan tentang perempuan itu adalah tiang negri? Alasan yang sangat mudah adalah karena perempuan pelahir generasi. Maka, kita harus melakukan akselerasi kebangunan perempuan untuk kebangunan Indonesia.

Tirani Langit